Kamis, 05 Mei 2011

tugas isbd,^^. p.saiful,...hehehehhhe PLURALISME

PLURALISME
    Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
     Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.
     Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar
    .PLURALISME AGAMA
      Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:

    Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar. Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih.
    Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama. 
    Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama. Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda.

    Pandangan Pluralisme menurut Islam. 
    Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan(Pluralitas). Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme), artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian sembah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menentang paham pluralisme dalam agama Islam.[1] Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalangan Muslim itu sendiri. [2] Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. [3] 
    Di Indonesia, salah satu kelompok Islam yang mendukung pluralisme agama adalah Jaringan Islam Liberal. Di halaman utama situsnya terulis: "Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih, Tuhan Penyayang, Tuhan segala agama."[4] 

    Hakikat Pluralisme 
    Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar.
    Inilah hakikat ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di Dunia Islam melalui berbagai cara dan media. Dari ide ini kemudian muncul gagasan lain yang menjadi ikutannya seperti dialog lintas agama, doa bersama dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide pluralisme didukung oleh kebijakan Pemerintah yang harus mengacu pada HAM dan asas demokrasi. Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga negara untuk beragama, pindah agama (murtad), bahkan mendirikan agama baru. 

    Di Balik Gagasan Pluralisme 
    Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejumlah faktor. Dua di antaranya adalah: Pertama, adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan.
    Menurut kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering memicu terjadinya kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antarpemeluk agama. Karena itu, menurut mereka, diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif dan berpotensi memicu konflik. 
    Kedua, faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.
    Karena itu, jika ditinjau dari aspek sejarah, faktor pertama bolehlah diakui sebagai alasan awal munculnya gagasan pluralisme agama. Namun selanjutnya, faktor dominan yang memicu maraknya isu pluralisme agama adalah niat Barat untuk makin mengokohkan dominasi Kapitalismenya, khususnya atas Dunia Islam. 

    D. Tipologi Pluralisme Agama Di Indonesia 
    Tipologi pluralisme di Indonesia adalah bentuknya modifikasi. Beberapa mengambil sebagian aliran global teologi dan sebagian mengambil dari Transendent Unity of Religions. Dan kedua aliran tersebut bertujuan sama, yaitu; keberadaan agama-agama sama derajatnya. Tetapi aliran yang diminati oleh kaum pluralis Indonesia adalah aliran transendent unity of religions. Sebab wacana agama Indonesia banyak dilatar belakangi oleh konflik sosial dari pada konflik teologi. 

    1. Pluralisme Basis Relativisme 
    Kebenaran dogma menjadi salah satu perbincangan dalam masalah pluralisme agama. Truth claim terhadap dogma agama yang dipeluk para penganut agama-agama seakan mengusik kaum pluralis, sehingga kaum pluralis menganjurkan kepada pemeluk agama untuk menganut paham ini. Tetapi kaum pluralis sendiri memaknai pluralisme masih dalam perdebatan.
    Pluralisme yang ada di Indonesia memiliki beberapa tipe, pada satu sisi mengandung nilai-nilai toleransi, pada sisi yang lain mengandung nilai relativisme bahkan, sampai pada tingkat nihilisme. Doktrin relativisme beramula dari Protagoras sorang sofis yang berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things).[i] Doktrin relativisme hanya mengandalkan akal manusia maknanya agama hanyalah tradisi. Agama tidak layak dijadikan patokan/standarisasi nilai-nilai kebenaran yang absolute.[ii] Kaum relativis berkeyakinan yang absolute hanya Tuhan,[iii] jadi kebenaran agama hasil tafsiran manusia adalah relative dan tidak absolut.
    Agama (Tuhan) memiliki keabsolutan kebenaran dan dan jika agama memasuki akal manusia, maka wahyu tersebut akan menjadi pemikiran keagamaan, maka pemikiran tersebut (representasi manusia tentang agama) adalah relatif sebab manusia sifatnya relatif.[iv] 
    "Disamping itu, ternyata kita juga menyaksikan bagaimana penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian upaya mempersamakan dan mempersatukan dibawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontradiktif. Pada gilirannya agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sehari-hari."[v] 
    Padahal dalam agama Islam keabsolutan itu bisa sampai tingkat manusia, sebab manusia di bekali wahyu, akal, rasul atau khabar shadiq. Dan akidah adalah bagian dari khabar shadiq yang diriwayatkan rasulullah kepada sahabat-sahabatnya dan turun kepada ulama-ulama. Bisa kita bayangkan jika di dunia ini semua relatif, maka hadis nabi yang menganjurkan untuk mencegah kemungkaran tidak akan berlaku lagi, sebab semua relatif, baik dan buruk standarnya akal manusia.
    Pluralisme berkaitan erat dengan relativisme kebenaran, sedangkan relativisme memandang, bahwa semua keyakinan keagamaan, idiologi, dan pemikiran filosofis, sama-sama mengandung kebenaran dan memiliki posisi yang sederajat. Jadi tidak ada kebenaran yang mutlak yang dapat ditemukan dalam suatu agama karena memiliki kapasitas yang sama.[vi] 
    Pluralis-relativisme adalah gagasan yang menekankan, bahwa perbedaan dan kemajemukan adalah prinsip yang tertinggi. Pemahaman pluralisme mengharuskan manusia menghormati semua bentuk keanekaragaman dan perbedaan, dengan menerima hal tersebut adalah bentuk dari menerima realitas yang sebenarnya. Dalam sikap seorang pluralis bukan hanya berhenti pada pluralitas, tetapi menurut Nurcholish Madjid dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban menyatakan bahwa sikap menerima pluralitas dengan sikap menerima pluralisme. 
    "….kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam Kitab Suci disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai-(Q., 49:13), maka pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu system nilai yang memandang secara positif-opimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan itu...."[vii] 
    Maka dalam konteks ini Nurcholish Madjid mengajak umat Islam menerapkan prinsip kenisbian kedalam. Prinsip untuk melepas klaim kemutlakan kebenaran, sehingga persaudaraan dapat dibangun antar umat manusia. Melalui semangat persaudaraan diharapkan dapat mengubah perbedaan-perbedaan sehingga dapat menjadi sumber positif dalam berlomba-lomba menuju kebaikan. Kemudian, melalui persaudaraan sikap saling menghormati akan tumbuh sehingga menghargai perbedaan antar umat dalam kehidupan masyarakat akan terwujud, sebab perbedaan antar umat beragama adalah hanya terletak pada ritual keagamaan dalam mengekspresikan patuh dan tunduk kepada Allah Yang Maha Pencipta.
    Hal ini juga sesuai dengan pernyataan dari Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, menyatakan, ”sekali pemahaman akan wahyu memasuki akal manusia, siapa pun manusia itu, ia akan memasuki wilayah kenisbian. Tidak boleh diklaim sebagai suatu kebenaran. Akal manusia tidak akan sampai mengetahui hakekat kebenaran. Sehingga, konsekwensinya juga tidak bisa mengetahui hakekat kebatilan. Akhirnya tidak boleh mengatakan bahwa apa yang diyakini oleh seseorang benar atau batil. Begitu juga keyakinan Ahmadiyah tidak bisa dikatakan sesat atau batil.[viii] 
    Menurut Syamsul Hidayat Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, pernyataan Ahmad Syafii Maarif akan sangat menyiksa manusia dan menjadikan kekacauan kehidupan manusia, sebab tidak ada kejelasan antara benar dan salah, ma`ruf dan mungkar, tauhid dan syirik, kesesatan dan petunjuk. Padahal banyak ayat-ayat al-Quran dan al-Sunnah yang menjelasankan tentang kriteria al-Haq dan al-Bathil, tauhid dan syirik, baik dan buruk. Kemudian Syamsul Hidayat  mengatakan Kesadaran akan relativitas akal, justru agar akal tunduk kepada mutlak kebenaran wahyu yang disajikan secara jelas oleh Al-Quran dan Sunnah kepada akal manusia. Artinya relativitas akal tetap disertai dengan kapasitas untuk mencapai kebenaran dan kebatilan secara pasti, serta tunduk kepada ketentuan wahyu.[ix] Jika umat Islam sudah tidak lagi percaya kepada kriteria tauhid, syirik, atau umat agama yang lain tidak percaya terhadap baik, buruk, benar salah, petunjuk dan kesesatan dan lain sebagainya yang disebutkan dalam al-Quran dan al-Sunnah atau dalam agama selain Islam di kitabnya masing-masing yang dianggap menjadi panduan ajaran agama, padahal dua kitab al-Quran dan al-Sunnah sebagai pedoman umat Islam, kemudian tidak dianggap benar, kalau begitu apalagi  yang bisa dijadikan pedoman?
    Kaum pluralis yakin bahwa agama-agama adalah bentuk jalan menuju Tuhan. Menurut Budhy Munawar Rachman, jalan menuju Tuhan itu adalah satu, tetapi jalurnya banyak, atau jalur menuju keselamatan adalah memang banyak dan Tuhan memanivestasikan dalam bentuk yang beraneka ragam dan bukan hanya pada satu jalan. Beliau juga mengutip ayat al Quran surat Al-Hujurat [49]:10.[x] menurut beliau ayat ini menerangkan tentang perintah Allah untuk saling kompromi, saling take and give, dan tak ada yang boleh mengklaim sebagai yang paling benar.[xi] Pluralisme, masih menurut Budhy Munawar Rachman, tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam tetapi pluralisme harus disikapi dengan teologia religionum (teologi agama-agama) dengan tujuan memasuki dialog antaragama.[xii] Kemudian Budhy Munawar Rachman dalam bukunya Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman menjelaskan, bahwa pendekatan terhadap agama-agama adalah melalui tiga jalur yaitu dengan sikap eksklusif,[xiii] inklusif [xiv] dan paralelis.[xv] 
    Argumentasi pluralisme memakai Al-Hujurat [49]:10 untuk persatuan persaudaraan lintas agama adalah penafsiran yang penuh hawa nafsu. Padahal dalam Ali `imran ayat 19 sangat jelas, bahwa jalan menuju Allah hanyalah Islam. Bagi yang tidak melaksanakan keislaman berarti kafir. Islam secara teologis bersifat eksklusif sedangkan dalam bermuamalat, bersosialisasi dengan masyarakat adalah inklusif. Tidak ada larangan untuk menjalin hubungan dengan masyarakat selama tidak merugikan. Sebab nabi juga bersosialisasi dengan masyarakat non muslim.
    Makna pluralis dan pluralisme kaum pluralis selalu meyamakan. Senada pengkaburan tersebut Alwi Shihab juga berpendapat, Berbicara pluralisme artinya bukan satu, tetapi plural, banyak. Dan banyak itu artinya berbeda, karena tidak ada yang sama. Maka kita harus bisa menghargai pendapat orang lain, kemudian juga beliau berpendapat bahwa pluralisme itu respect terhadap pendapat orang lain dan tidak memaksakan kehendak kelompok yang berbeda dengan kita tapi yang seharusnya adalah saling interaksi dengan baik saling menghormati khususnya idiologi agar terciptanya afinitas (daya gabung/hubungan erat)[xvi] akan tetapi kalimat ini sangat kontradiksi dengan kalimat berikutnya. Alwi Shihab diakhir tulisannya menulis. "....nilai-nilai pluralisme dalam Islam itu sangat kental, maka kita harus mengembangkan nilai-nili pluralisme ini untuk menghormati pendapat orang lain dan tidak memaksakan pendapat kita...."[xvii] sebetulnya pada kalimat "maka kita harus mengembangkan nilai-nilai pluralisme" adalah merupakan kalimat untuk memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Kemudian juga Alwi Shihab juga menulis "Mari kita kembangkan budaya ini, dan saya kira dari dulu dan akan berlanjut terus, bahwa salah satu nilai penting dalam NU adalah inklusifisme" kalimat ini sebenarnya bentuk kalimat yang tidak toleran terhadap orang-orang yang mempertahankan eksklusifisme, padahal dalam Islam tidak terdapat istilah tersebut. Teology Islam adalah eksklusif sekaligus inklusif dalam kehidupan sosial. 

    2. Pluralisme Berbasis Nihilisme 
    Tipe pluralisme basis nihilisme adalah bahwa jika semua agama adalah sama benar maka logika terbaliknya adalah tidak ada kebenaran dalam semua agama. Sehingga Ludwig Feuerbach menunjukkan esensi agama terletak pada manusia[xviii] sehingga Feuerbach memaknai agama hanyalah gambaran akan keinginan manusia yang tak terbatas, yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri dan tidak lebih dari proyeksi hakikat manusia.
    Agama itu hanya merupakan perwujudan cita- cita: “Ilusi religius yang terdiri dari suatu objek bersifat imanen pada pikiran kita menjadi lahiriah,[xix] mewujudkannya, mempersonifikasikannya. ”Atribut- atribut Ilahi merupakan perwujudan dari predikat- predikat manusiawi, yang tidak sesuai dengan individu manusia sebagai individu, Allah yang kekal, itulah akal budi manusia dengan coraknya yang bersifat mutlak yang sekali lagi merupakan hasil proyeksi manusia. Agama merupakan kesadaran yang tidak terhingga.
    Jadi Tuhan tidak lebih daripada manusia: dengan kata lain, ia adalah proyeksi luar dari hakikat batin manusia sendiri. Bisa juga dikatakan bahwa Tuhan ada dalam tiap manusia, dan manusia adalah bentuk luar dari Tuhan. Tuhan bukan lagi Zat Yang Mahakuasa tapi merupakan akal kolektif manusia. Sarana komunikasi Tuhan bukan memlalui wahyu melainkan dalam bahasa nasional. Manusia tidak butuh dengan Tuhan (Zat Yang Mahakuasa) sebab manusia dapat menyelesaikan masalah dunia tanpa dengan Tuhan.[xx] Jika demikian berarti manusia tidak butuh agama, sebab manusia adalah proyeksi atau gambaran Tuhan itu sendiri. Jika manusia adalah Tuhan apa fungsi agama bagi manusia? Sehingga demikian manusia tidak butuh agama. Dan agama-agama yang ada hanyalah aturan-aturan yang tidak bermakna.
    Selain Feuerbach dengan ateisme antropologisnya maka Karl Marx dengan ateisme sosio-politis bahwa agama itu candu bagi masyarakat (religion is the opium of the people). Pendapat Marx ini adalah menerangkan bahwa dengan adanya agama maka struktur masyarakat tidak sehat. Agama menurut Marx adalah hanya khayalan membuat manusia terlena.[xxi] Agama bagaikan eskapisme untuk keluar dari dunia nyata ke dunia khayalan. Agama singkatnya adalah sesuatu yang tidak riil.
    Pada tipe ini menyatakan bahwa, kebenaran sejatinya tidak ada, sebab dari pemahaman tentang  kebenaran adalah sama benarnya. Karena kebenaran sama benarnya atau bisa jadi semua kebenaran adalah sama salahnya, itu berarti kebenaran itu tidak ada. Selain itu juga kaum pluralis menganggap bahwa toleransi jika tidak dibarengi dengan sikap pluralisme itu bukanlah sikap toleransi sejati. Seorang pluralis sejati memaknai pluralisme dengan kesamaan dan kesetaraan dalam segala hal, termasuk beragama. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Kaum pluralis juga beranggapan bahwa umat beragama jika tidak mengaplikasikan pluralisme dalam keagamaanya berarti toleran atau intoleran terhadap pemeluk agama yang lain.
    Kaum pluralis juga  berusaha untuk menghilangkan otoritatif teolog, ulama dan lain sebagainya, sebab mereka beranggapan akal kolektif manusia yang berhak untuk memaknai sesuatu. Hal ini sesuai dengan pendapat Musdah Mulia disaat di wawancarai oleh Najwa Shihab di Metro TV 21 April 2010. Menurut Musdah Mulia bahwa yang berhak menafsirkan dan mendefinisikan agama adalah elemen masyarakat dan kesepakatan bersama, kemudian juga Musdah beranggapan bahwa Islam harus sesuai dengan Pacasila, UUD 1945, Prinsip NKRI dan prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika sebab Islam berada di Indonesia. Dari ungkapan beliau ini jelas bahwa nilai-nilai agama direduksi menjadi nilai kebangsaan, nilai-nilai agama diganti dengan kesepakatan bersama. 

     3. Pluralisme Basis Theosofis[xxii] 
    Theosofis merupakan organisasi aliran kebatinan, wadah studi, dan pemahaman mengenai kebijaksanaan Ilahi yang tersirat di alam raya ini. Menurut Artawijaya yang menulis Gerakan Theosofi di Indonesia, bahwa antara Freemasonry  dan theosofi adalah satu tujuan dan hanya beda nama.[xxiii] Inti ajaran dari theosofi adalah agama apapun selama menjunjung tinggi kemanusiaan dan menebarkan kebajikan adalah pada hakekatnya sama. Tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kebenaran. Inilah ajaran teosofi dalam memandang agama.[xxiv] 
    Bahkan dalam lambang theosofi terdapat motto organisasi yang berbunyi, "There is no Relegion Higher Than Truth", atau dalam bahasa sangsekerta, "Satyan Nasti Paroh Darma" yang berarti "Tidak ada agama yang lebih tinggi daripada Kebenaran"[xxv] dari motto organisasi ini bermakna masing-masing agama tidak bisa mengklaim bahwa agamanyalah yang mutlak benar (absolute truth claims). Karena menurut mereka kebenaran tidak berbentuk tunggal dan kebenaran terdapat dalam agama-agama selama menjalankan kebaikan dan kebenaran.  Dan inilah yang menjadi dasar para penggiat pluralisme agama di Indonesia. menurut kaum theosof bahwa setiap kehidupan dan makhluk di alam ini ada zat Tuhan yang menyatu serta alam dan seisinya bukanlah diciptkan melaikan terpancar dari zat Tuhan. Jadi dari tiap individu manusia memiliki zat Tuhan yang bersemayam dalam hati dan jantung manusia.[xxvi] 
    Gerakan theosofi yang dirumuskan Dr. Anie Besant salah satunya adalah Membentuk suatu inti persaudaraan universal kemanusiaan, tanpa membeda-bedakan ras (bangsa), kepercayaan, jenis kelamin, kasta atau warna kulit.[xxvii] Kata-kata ini seakan indah tetapi memiliki tujuan yang berbeda. Padahal dalam Islam persaudaraan berdasarkan keimanan,[xxviii] dan ditegaskan kembali dalam QS Al-Mujadalah: 22.[xxix] 
    Diantara sarjana Muslim Indonesia yang terpengaruh dengan ide-ide Theosofi adalah Komarudin Hidayat. Disalah satu karyanya beliau menulis: 
    "Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan bungkus yang berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalahpahaman dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul ke permukaan. Pada tahap ini, agama muncul dengan ragam wajah dan ragam bahasa sementara kita cenderung melihat perbedaannya ketimbang persamaanya."[xxx] 

    Jika dicermati kalimat diatas, bahwa Komaruddin Hidayat meyakini bahwa kebenaran dapat ditemukan pada setiap agama. Keberagaman agama-agama hanyalah bentuk bungkus, kulit luar dan tradisi yang berbeda dari tiap agama-agama, akan tetapi isi ajaran agama adalah sama. Kemudian masih dalam buku yang sama, Komaruddin mengatakan, "secara empiris adalah suatu kemustahilan jika kita mengidealisasikan munculnya kebenaran tunggal yang tampil dengan format dan bungkus tunggal, lalu di tangkap oleh manusia dengan pemahaman serta keyakinan yang seragam dan tunggal pula."[xxxi] Di sinilah Komaruddin menyangsikan akan adanya sebuak kebenaran dalam bentuk tunggal. Keberagaman tersebut merupakan kebenaran. Dan kebenaran terdapat pada tiap-tiap sesuatu yang tidak tunggal. Dan ini berarti beliau meragukan kebenaran agama Islam dan kesempurnaan ajaran. 
    Selain Komaruddin Hidayat adalah Zuhairi Misrawi  Intelektual Muda NU dan Ketua Moderate Muslim Society. Dalam tulisannya di Kompas mengatakan.
    Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya, pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.[xxxii] 

    Disini Zuhairi Misrawi mengajak untuk sadar terhadap perbedaan dan keragaman merupakan fitrah manusia. Disinilah kerancuannya, yaitu Zuhairi sendiri tidak sadar bahwa, yang menjadi fitrah adalah pluralitas bukan pluralisme. Disinilah terjadi pengkaburan makna antara pluralisme dan pluralitas. Kemudian Zuhairi juga menulis.Fatwa keagamaan berupa penyesatan dan pengharaman terhadap kelompok minoritas dalam intra-agama sepanjang tahun 2009 juga menjadi tantangan serius. Fatwa tersebut dapat digunakan untuk melakukan tindakan hukum yang dapat dianggap sebagai diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kelompok minoritas. Fatwa tersebut kerap kali dijadikan sebagai landasan untuk melarang kegiatan dan memejahijaukan mereka dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan KUHP Pasal 156a tentang penodaan agama. Di samping itu, kelompok minoritas harus mendapatkan perlakukan tidak manusiawi oleh sekelompok masyarakat yang tidak beridentitas, baik penyerangan maupun pengusiran.[xxxiii] 
    Disini tampak jelas bahwa Zuhairi menolak fatwa MUI terhadap Ahmadiyah, Lia Eden atau aliran-aliran sesat yang lainnya, bahkan Zuhairi mendukung keberadaannya. Sebab pemikiran Zuhairi lahir dari keyakinannya bahwa tidak ada truth claim. Masing-masing orang bebas mengekpresikan keyakinannya dalam beragama. Setiap individu memiliki pendapat akan kebenaran. Hal ini searah dengan ajaran theosofi yang mengajarkan bahwa manusia sejati adalah kebenaran dan kebenaran menurut theosofi tidak dapat dimonopoli. Setiap orang mempunyai kebenaran dan kenyataan sendiri.[xxxiv] 
    4. Pluralisme Bukan Toleransi 
    Jika pluralisme ini dianggap sebagai cara bertoleransi terhadap penganut agama lain, maka Diana L. Eck membantah pendapat tersebut dalam tulisannya What is Pluralisme," Nieman Reports God in the Newsroom Issue" bahwa pluralisme tidak hanya bermakna toleransi, tetapi merupakan pencarian secara aktif guna memahami aneka perbedaan (the encounter of commitments) alias mengharapkan kesamaan dalam agama-agama.[xxxv] Hal ini juga senada dengan Syafi`i Anwar[xxxvi] Direktur International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) mengatakan bahwa "Pluralisme itu mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Selain itu, yang terpenting, bukan sekadar menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain. Dan sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi manusia," selain itu juga masih menurut Syafi`i Anwar, Konsep pluralisme yang tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada penghormatan (respect) kepada yang lain (the others), [xxxvii] 
    Dalam konsep Islam mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, tetapi tidak sampai pada tingkat pembenaran terhadap teologinya. Islam tetap mengakui kesalahan teologi agama yang lain bahkan sampai tingkat mengoreksi, tetapi Islam juga tidak memaksakan mereka untuk untuk masuk Islam. Islam juga membiarkan agama selain Islam untuk melaksanakan ritual agamanya, selama tidak mengganggu agama Islam. Ini berarti Islam tidak mentolerir persamaan agama (lakum dinukum wa liyadin).[xxxviii] dari : inpas online,wikipedia,blog.HTI.

      Tidak ada komentar:

      Posting Komentar

      Mengenai Saya

      Foto saya
      saya orangnya suka tersenyum,tapi bukan berarti saya gila lhoo,..^^ saya berfikir bahwa dengan tersenyum segala sesuatu yang kita kerjakan kan berbuah keikhlasan,,,. jadi,apapun yang terjadi angkat kepala n tersenyumlah,...hehee semangat,..!!!